Dulu, tombol like di Facebook hanya sebatas emoticon jempol berwarna biru. Awalnya mungkin tidak berwarna, namun ketika seseorang menyukai status milik orang lain, maka akan berubah warna menjadi biru.
Kini, fitur tombol like di Facebook tidak hanya sebatas pada jempol berwarna biru saja, namun juga ada variasi emoticon lainnya yaitu like, love (cinta), haha (tertawa), wow (kagum), sad (sedih), angry (marah). Mungkin Mark Zuckerberg berniat untuk membuat Facebook semakin ekspresif dengan mengetahui respon seseorang terhadap sebuah standing yang dimunculkan. Tidak melulu hanya jempol saja.
Ketika melihat sebuah berita tentang duka, para pengguna Facebook otomatis memberikan emoticon sad yang menggambarkan rasa sedih. Ketika mendapati status mengenai sebuah prestasi dan keberhasilan, ramai-ramai warganet menyumbang emoticon kagum atau love. Saat melihat standing tentang kebencian atau kasus kekerasan, netijen juga ramai-ramai menyumbang emoticon marah dan juga sedih.
Sungguh, penggunaan emoticon tersebut dapat mewakili perasaan mereka. Sangat berbeda dengan Instagram dan Twitter yang hanya menyediakan fitur like berupa love. Jadi, untuk mengetahui pendapat para netijen, kita masih harus melihat komentar mereka di kolom comment. Nggak praktis.
Namun, belakangan ini, saya—nggak tahu deh kalau yang lain—justru merasa terganggu dengan adanya variasi emoticon tombol tersebut. Khususnya emoticon tertawa. Saya merasa, para pengguna Facebook sering salah menggunakan fungsi emoticon tertawa tersebut.
Ketika saya melihat sebuah status mengenai seorang remaja bucin yang patah hati, netijen bukannya bersimpati justru malah beramai-ramai tertawa. Hadeuh. Dikira yang patah hati itu cuma rekayasa kalik, ya, atau mungkin menurut mereka patah hati di tahun 2019 ini terasa lucu. Entahlah, hanya mereka yang paham.
Selain itu, semakin lama saya amati, para pengguna Facebook juga sering kali memberikan tanggapan menggunakan emoticon tertawa pada hal-hal atau berita yang datangnya dari pemerintah Indonesia.
Seperti berita mengenai kepindahan ibu kota yang baru saja diumumkan oleh Presiden Jokowi. Tiap kali saya melihat berita tersebut bermunculan di beranda Facebook, banyak sekali yang memilih memberikan respon dengan emoticon tertawa. Padahal, isi beritanya serius lho, ya. Ini mengenai masa depan ibu kota negara Indonesia yang baru. Memang, apanya yang lucu, sih? Sungguh, saya nggak habis pikir.
Kali lain, berita mengenai pemerintah yang bikin klarifikasi soal mati listrik se-Jabodetabek, eh netijen malah menanggapi dengan emoticon ketawa. Pak Jokowi buat pernyataan soal kasus rasisme Papua, ketawa juga. Bahkan sewaktu KPU membuat pengumuman soal presiden terpilih, emoticon tertawa juga banyak didapatkannya. Ih, kesel deh. Dikira pemerintah Indonesia ini lagi ngadain get up comedy kalik, ya. Makanya rakyat Indonesia ini ketawa mulu.
Menurut saya, emoticon tertawa yang sering disematkan pada berita-berita pemerintahan, kok, rasanya seperti melihat orang-orang tertawa tapi tidak pada tempatnya, ya? Lha iya, kan emang pemerintah nggak lagi bikin lelucon ataupun ngelawak. Ngapain, sih rakyat Indonesia ketawa?
Mereka itu lagi buat klarifikasi lho, ya—meskipun klarifikasinya ya terkesan formalitas dan mengada-ada—tapi ya dihargai. Jangan cuma diketawain. Minimal kasih emoticon ‘kagum’ atau ‘love’ gitchu. Biar mereka makin semangat kerjanya dalam melayani rakyat ~
Emoticon tertawa yang tidak pada tempatnya—menurut saya—kok rasanya seperti sebuah sarkasme. Mereka seperti mengejek hal-hal yang muncul tapi tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Kalau ini berhubungan dengan rakyat jelata—macam saya—ya, nggak apa-apa. Palingan saya cuma bete sehari-dua hari. Setelah itu buat status lagi.
Lah, gimana dengan orang-orang yang bekerja di pemerintahan, khususnya yang sekelas presiden Jokowi—yha, Jokowi lagi, Jokowi lagi. Gimana kalau nanti Pak Jokowi membuat status di Facebook “Selamat merdeka yang ke seventy four tahun untuk Indonesia. Semoga apa yang kamu semogakan segera tercapai.â€
Lalu, statusnya tersebut mendapatkan banyak respon emoticon yang beragam, namun sebagian besar malah tertawa. Kira-kira, menurut kamu bagaimana perasaan Bapak Presiden Jokowi? Sedih, kan? Hiks. Terus gimana kalau beliau ngambek, nggak lagi mau ngurusin rakyat Indonesia yang permasalahannya berjibun-jibun ini. Kan, berabe nanti urusannya, my lov~
Saya masih yakin bahwa orang Indonesia itu ramah dan baik hati—juga nggak sombong dan rajin menabung. Mereka pasti tahu bagaimana cara bersikap, beradab dan bertata krama yang baik dan benar. Juga menunjukkan simpati dan empati—termasuk memberikan emoticon—yang sesuai pada tempatnya.
Kalau masih belum bisa menunjukkan rasa simpati dan empatinya di Facebook, maka saya mohon dengan sangat teruntuk Mark Zuckerberg untuk mempertimbangkan mengembalikan fitur tombol like di Facebook seperti sebelumnya. Nggak apa-apa meskipun terkesan tidak ekspresif, setidaknya tidak perlu ada hati yang terluka. Atas nama rasa kemanusiaan, saya sampaikan ribuan ucapan terima kasih. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai caraini. auto like fb Curhat Facebook Mark Zuckerberg Media Sosial populer tombol like
Last modified: 27 Agustus 2019